SEJARAH DINASTI BANI UMAYYAH
Thursday, 13 October 2016
Edit
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Setelah
pemerintahan Khulafaurrasyidin berakhir, maka Bani Umayyah muncul yang dibentuk
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Bani Umayyah diakui secara resmi melanjutkan
khilafah Islam setelah berakhirnya sengketa antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah
bin Abi Sofyan sebagai lambang penguasa Daulah Umayyah..[1 Dalam
sistem pemerintahan, Bani Umayyah
telah mengubah sistem suksesi kepemimpinan dengan jalan musyawarah menjadi monarkhi atau sistem kerajaan yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muawiyah mengangkat anaknya sendiri Yazid, sehingga pada umumnya sejarawan memandang negative terhadap Muawiyah karena pada awal keberhasilan memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang di Shiffin dicapai melalui arbitrase.[2]
telah mengubah sistem suksesi kepemimpinan dengan jalan musyawarah menjadi monarkhi atau sistem kerajaan yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muawiyah mengangkat anaknya sendiri Yazid, sehingga pada umumnya sejarawan memandang negative terhadap Muawiyah karena pada awal keberhasilan memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang di Shiffin dicapai melalui arbitrase.[2]
Kekuasaan
Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibukota Negara dipindahkan Muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gebernur sebelumya.
Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan
(661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik
(705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz(717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik
(724-743 M).[3]
Wilayah
Islam dimasa Bani Umayyah sangat luas, daerah ini meliputi Spanyol, Afrika
Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabiah, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis
di Asia Tengah.
Di
samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa dalam pembanguan
diberbagai bidang seperti bidang politik, sastra, ilmu pengetahuan, ekonomi dan
administrasi.
Luas
wilayah Islam dimasa Bani Umayyah memunculkan masalah-masalah baru, di samping
masalah yang ada sebelumnya. Kejayaan Bani Umayyah ternyata menyimpan
benih-benih perpecahan yang dalam sejarah mampu meruntuhkan kejayaan tersebut.
Dengan
melihat latar belakang di atas, penulis akan menjelaskan bagaimana perkembangan
Bani Umayyah serta kemundurannya yang membawa kehancuran pada dinasti tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberpa masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
perkembangan dan kemajuan dinasti Bani Umayyah ?
2.
Mengapa dinasti
Bani Umayyah mengalami kemunduran ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
dan Kemajuan Dinasti Bani Umayyah
Kemajuan
utama yang terwujud dalam masa Dinasti Bani Umayyah antara lain adalah
terciptanya suasana yang kondusif dalam negara dan bersatunya kembali ummat
Islam. Hal tersebut tercapai dikarenakan Muawiyah (pada awal kepemimpinannya)
mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
Dinasti
Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad, dengan 14 orang khalifah. Dimulai dari
Muawiyah bin abu Sofyan dan ditutup oleh Marwan ibn Muhammad. Adapun urutan
khalifah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.
Muawiyah ibn
Abi Sufyan (41H/661M)
2.
Yazid bin
Muawiyah (60 H/680 M)
3.
Muawiyah II (64
H/683 M)
4.
Marwan I ibn
Hakam (64 H/684 M)
5.
Abdul Malik ibn
Marwan (65 H/685 M)
6.
Al- Walid ibn
Abdul Malik (86 H/705 M)
7.
Sulayman ibn
Abdul Malik (96 H/715 M)
8.
Umar bin Abdul
Azis (99 H/717 M)
9.
Yazid II ibn
Abdul Malik (101 H/720 M)
10.
Hisyam ibn
Abdul Malik (105 H/724 M)
11.
Al- Walid II
(125 H/743 M)
12.
Yazid III (126
H/744 M)
13.
Ibrahim ibn al-
Walid II (126 H/744 M)
14.
Marwan II ibn
Muhammad (127-132 H/744-750 M)[4]
Dalam
pemerintahannya, Bani Umayyah membawa dampak dalam perkembangannya, selain
ekspansi yang sangat luas juga diikuti oleh kemajuan-kemajuan di berbagai
bidang, di antaranya :
1.
Bidang Sastra
Pada umumnya, para pemimpinnya
sangat mencintai syair dan pujaan serta kemegahan, sehingga kesustraan
berkembang pesat pada saat itu. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa aspek
sebagai berikut:
a.
Pertentangan
Kabilah, yakni masing-masing kabilah merasa megah dengan unsur sukunya sehingga
muncullah para pujangga utama untuk membela dan meninggikan kabilahnya.
b.
Penghamburan uang,
yakni para khalifah dan pembesarnya memelihara para penyair khusus dengan gaji
yang besar. Di samping member hadiah yang berganda kepada para pujangga yang
mau memuja dan membela rezimnya.
c.
Fanatik Arab,
yakni menghidupkan dan mengembangkan nilai-nilai kesusastraan yang terdapat
dalam bahasa Arab.
d.
Gerakan Adab,
yakni adanya hubungan antara oprang-orang Muslim dengan bangsa-bangsa yang
telah maju, sehingga bagi kaum muslimin
giat menyusun dan membina riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah.[5]
Pada waktu pengangkatan Yazid
sebagai khalifah, seorang penyair bernama Miskin al-Darimi diminta untuk
menggubah dan membacakan puisi di depan publik bait-bait puisi yang bernuansa
politik. Bahkan pada masa pemerintahan al-Walid, seorang bernama Hammad
mendapat hadiah sebesar 100 dirham karena Hammad ini berhasil menghimpun Puisi
Emas berlirik yang dikenal dengan Mu’allaqat.[6]
Sekolah puisi provinsi pada masa
Umayyah dikepalai oleh al-Farazdaq(+ 640-728) dan Jarir (w. 729), dan sekolah
puisi di ibukota kerajaan dikepalai oleh al-Akhthal (+640-710). Ketiganya
merupakan yang terdepan di antara para penyair unggulan sebelum mereka. Dengan
puisi pujiannya, yang menjadi salah satu sumber penghidupan bagi mereka, para
penyair ini memiliki peran seperti media massa dewasa ini.[7]
2.
Bidang Ilmu
Pengetahuan
Pemerintahan dinasti Bani Umayyah
yang dibina atas dasar kekerasan dan mata pedang, serta jiwanya yang sangat
kental dengan kefilsafatan membuatnya sangat menghormati para cendikiawan
sebagai tempat mengadu. Bahkan mereka menyediakan dana khusus untuk para ulama
dan filosof.[8]
Penghormatan kepada ulama karena didorong oleh semangat keagamaan mereka.
Pada periode ini belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani
Umayyah biasanya akan di sekolahkan ke Badiyah, gurun Suriah. Ke sanalah
Muawiyah mengirimkan putranya yang
kemudian menjadi penerusnya (Yazid).
Di masa khalifah Umar bin Abd Aziz,
para da’i Islam dikirim ke berbagai negara seperti India, Turki, Asia Tengah,
Afrika, Andalusia dan sebagainya dengan misi utama agar mereka masuk Islam.
Waktu itu, beliau memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong
mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka
menyebarkan ilmu pengetahuan. Kemudian ia menyuruh golongan cendikiawan muslim
agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam
kitab-kitab berbahasa Yunani dan Latin ke bahasa Arab , agar ilmu-ilmu tersebut
dapat dicerna oleh ummat Islam.[9] Dan
di masa Umar bin Abd Aziz inilah beliau menginstruksikan untuk mentadwinkan
kitab-kitab hadits.[10]
Kota-kota yang menjadi pusat
kegiatan ilmu pada masa Bani Umayyah masih seperti zaman Khulafaurrasyidin,
yaitu Damaskus, Kuffah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan
pusat-pusat baru seperti Kairawan, kordoba, Granada dan lain-lainya. Ilmu
pengetahuan pada masa itu terbagi menjadi dua yaitu;
a.
Al-Adaabul
Hadisah (ilmu-ilmu baru) yang terdiri dari
dua bagian, yaitu:
1). Al- Ulumul Islamiyah,
yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadits, al-Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, at-Tarikh
dan al-Jughari.
2). Al-Ulumul Dakhiliyah,
yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti Filsafat, ilmu
pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
b.
Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman
Jahiliyah dan di zaman khulafaurrasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair,
khitabah dan amsaal.[11]
Adapun tokoh-tokoh ilmu pengetahuan
diantaranya Abu al-Aswad al-Du’ali (perintis tata bahasa), al-Khalil ibn Ahmad
(penyusun Kitab al-Ayn), Hasan al-Bashri, Ibn Syihab al-Zuhri, Amir ibn
Syarahil al-Sya’bi, Abu Hanifah, Abid ibn Syaryah dan Wahb ibn Munabbih.[12]
3.
Bidang Ekonomi
Dalam upaya membiayai roda
pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas perbendaharaan Negara.
Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikordinir
oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5%
ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebesar 10%.
Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak
dikenakan pajak.[13]
Sumber dana lain untuk pengisian Bait
al-Mal adalah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang
daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dana-dana tersebut digunakan untuk
pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur-sumur di
sepanjang jalan dan pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan
hanya pada suatu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke
daerahdaerah secara adil.[14]
Kemudian kebijakan yang strategis
pada masa dinasti Bani Umayyah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini
terjadi pada masa khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium
dan Persia yang diipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia
mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan
Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambing kesamaan
kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya.[15]
4.
Bidang
Administrasi
Administrasi pemerintahan Bani
Umayyah telah nampak pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang
berpusat di Damaskus. Muawiyah dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam
dirinya terkumpul sifat seorang politikus dan administrator.Di zaman ini
pertama dikenalkan materai resmi untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari
Khalifah serta pertama kali menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian
penting dengan cepat.[16]
Penambahan administrasi pemerintahan
besar-besaran terjadi pula pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia melakukan
pembenahan administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat negara
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam pemerintahan.
Hal tersebut pertaama kali diterapkan di Syiria dan Irak, kemudian di Mesir dan
Persia.[17]
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab yang meliputi:
a.
Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan
surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b.
Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan
pengeluaran Negara.
c.
Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan.
d.
Katib
asy-Syurthahk yaitu
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
umum.
e.
Katib al-
Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan tertib hakum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[18]
Demikianlah
kemajuan-kemajuan yang dicapai dinasti Bani Umayyah yang tentunya membawa
sebuah perubahan besar dalam perkembangan sejarah peradaban Islam. Hal ini
setidaknya tercermin pada masa Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd
al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn
Abd al-Aziz(717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724-743 M).
B.
Kemunduran Dan
Kehancuran Dinasti Bani Umayyah
Kekuasaan
wilayah Bani Umayyah yang sangat luas dalam waktu yang singkat tidak berbanding
lurus dengan komunikasi yang baik, menyebabkan kadang-kadang suatu wilayah
situasi keamanan dan kejadian-kejadian tidak segera diketahui oleh pusat. Di
samping itu kemunduran Bani Umayyah tidak terlepas dari pengaruh sikap dan
kebijakan khalifah ataupun gebernur Bani Umayyah.
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitui:
1.
Faktor Intern,
yaitu faktor yang berasal dari dalam istana, antara lain:
a.
Perselisihan
antar keluarga khalifah.
Perselisiha antar keluarga khalifah,
yaitu para putra mahkota yang menjadikan rapuhnya kekuatan kekhalifaan. Apabila
yang pertama memegang kekuasaan, maka ia berusaha untuk mengasingkan yang lain
dan menggantikannya dengan anaknya sendiri. Hal ini menimbulkan permusuhan
dalam keluarga dan tidak hanya terbatas pada tingkat khalifah dan gebernur
saja. Menurut Philip K.Hitti, sistem pergantian khalifah melalui garis
keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek
senioritas, pergantian khalifah itu tidak jelas. Ketidak jelasan pergantian ini
mengakibatkan terjadinya persaingan yangb tidak sehat dikalangan anggota
keluarga istana.[19]
b.
Moralitas
Khalifah atau gebernur yang jauh dari konsep Islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah
gunakan oleh khalifah ataupun gebernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria
dalam kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II naik tahta. Ia terpikat
pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka minum minuman keras yang
berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang anaknya, al-Walid II yang
terkenal keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia diriwayatkan terbiasa berendam
di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga kedalamannya berkurang.[20]Kemudian
para wazir dan panglima Bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendaliakan
negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[21]
2.
Faktor ekstern,
yaitu faktor yang berasal dari luar istana,antara lain:
a.
Perlawanan dari
Kaum Khawarij
Semenjak berdirinya Dinasti Umayyah,
para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan Khawarij. Golongan
ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosan
besar.[22]Perbedaan
pandangan politik antara Khawarij, Syi’ah dan Muawiyah menjadikan Khawarij
mengangkat pemimpin dikalangannya sendiri. Hal ini tentu mempengaruhi
stabilitas politik pada masa itu.
b.
Perlawanan dari
Kaum Syi’ah.
Kaum Syi’ah yang tidak pernah
menyetujui pemerintahan Dinasti Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan
mereka terhadap Ali dan Husain semakin aktif
dan mendapat dukungan publik. Di sisi mereka berkumpul orang-orang yang
merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun social terhadap
pemerintahan Bani Umayyah.[23]
c.
Perlawanan
Golongan Mawali
Asal mula Mawali yaitu budak-budak
tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah ini berkembang pada
orang Islam bukan Arab.[24]Secara
teoritis, orang Mawali memiliki derajat yang sama dengan orang Arab. Namun itu
tidak sepenuhnya tampak pada dinasti Umayyah bahkan mereka memandang kelompok
Mawali sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang sosial yang
memisahkan. Padahal orang Mawali ini turut serta berjuang membela Islam dan
Bani Umayyah, mereka adalah basis infantry yang bertempur dengan kaki
telanjangdi atas panasnya pasir, tidak di atas unta maupun kuda. Basis militer
ini kemudian bergabung dengan gerakan anti pemerintah, yakni pihak Abbasiyah
dan Syiah.[25]
d.
Pertentangan
etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Pada masa kekuaasaan Bani Umayyah,
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qaisy) dan Arabia Selatan
(Bani Qalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing.[26]
Apabila khalifah tersebut berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab
Utara akan iri demikian pula sebaliknya. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa
Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
e.
Perlawanan dari
Golongan Abbasiyah
Keluarga Abbas, para keturunan paman
Rasulullah mulai bergerak aktif dan menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki
pemerintahan. Dengan cerdik, mereka bergabung dengan pendukung Ali dan
menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan
menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas
segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.[27]
Inilah faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang membawa
kehancuran bagi Bani Umayyah. Apalagi ketika tiga gerakan terbesar yakni
Abasiyah, Syi’ah dan Mawali bergabung dalam gerakan koalisi untuk menumbangkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah dan bertujuan mendirikan kerajaan baru yang
ideal.
Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus
yang telah dirintis oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditandai dengan
terbunuhnya Marwan bin Muhammad sebagai khalifah dari Bani Umayyah.
BAB III
PENUTUP
Dari
pemaparan makalah di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Kemajuan yang
dicapai pada masa Bani Umayyah bertitik tolakdari dua hal, yaitu terciptanya suasana kondusif sebagai dampak dari keberhasilan
menyatukan ummat Islam pada awal pembentukan dinasti dan ekspansi besar-besaran
yang menyebabkan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam. Hal inilah kemudian
mempengaruhi perkembangan sastra, ilmu pengetahuan, ekonomi dan administrasi
negara.
2.
Kemunduran dan
kehancuran Bani Umayyah dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal
disebabkan karena perselisihan antar keluarga khalifah serta moralitas khalifah
yang jauh dari konsep agama Islam. Sedangkan faktor eksternal adalah perlawanan
dari Kaum Khawarij, Kaum Syiah, golongan Mawali, adanya pertentangan antara
Arab Utara dengan Arab Selatan serta puncaknya ketika adanya perlawanan dari
Golongan Abbasiyah .
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
K, Sejarah Islam dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani, dari buku
asli A Study of Islamic History,
diterjemahkan oleh Ghufron Aa,. Mas’adi, Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Amin, Ahmad, Dhuha Islam, Kairo: Maktabah Al-Nahda,1972.
Al-Harwy,
Abd, al-Sami Salim, Lugha al-Idarah, t.tp: al-Haiah al-Misrishriyah,
1986.
Al-Hisyam,
Sejarah Kebudayaan Islam, Cet.IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Hitti,
Phillip K, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi
Slamet
Riyadi,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2008.Isamai, M. Syhudi, Pengantar Ilmu
Hadis, Cet. I; Bandung: Angkasa, 1988.
Mufrodi,
Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
Cet.I; Jakarta: Logos, 1999.
Karim,
M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet.I; Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007.
Nasution,
Harun , Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V; Jakarta: UI Press, 1986.
------- Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya,
Jilid I, Cet.V; Jakarta:UI Press, 1985.
Al-Syaraf,
Muhammad Jalal dan Ali abdul Muthy, al-fikr al-Siyasi fi al-Islam,
Iskandariah: Dar al-Jama’ah al-Mashriyah, 1978.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Eds. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.